LAUT menyuguhkan sebuah pesona pandangan yang indah tak terwakilkan kata. Pasir putih, pohon nyiur senantiasa melambai teriring desiran ombak, penghias hamparan laut yang biru. Maha suci Allah SWT, sebagai penciptanya. Laut tidak hanya indah, tapi juga menyediakan berbagai aneka hidangan komoditi bagi manusia yang dapat dijadikan sebagai penopang hidup bagi masyarakat pesisir.
Keindahan pesona laut berbanding lurus dengan potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang dikandungnya, sehingga tidak sedikit masyarakat menggantungkan “hidupnya” di laut, terutama masyarakat pesisir. Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah sejatinya menghasilkan daya manusia yang berkualitas. Dikatakan demikian, karena laut menyuguhkan sumber pangan yang segar lagi kaya akan gizi, namun ironisnya bahwa masyarakat pesisir tetap terbelakang dan bahkan termarjinalkan dari rumusan program pemerintah.
Keindahan pesona laut berbanding lurus dengan potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang dikandungnya, sehingga tidak sedikit masyarakat menggantungkan “hidupnya” di laut, terutama masyarakat pesisir. Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah sejatinya menghasilkan daya manusia yang berkualitas. Dikatakan demikian, karena laut menyuguhkan sumber pangan yang segar lagi kaya akan gizi, namun ironisnya bahwa masyarakat pesisir tetap terbelakang dan bahkan termarjinalkan dari rumusan program pemerintah.
aut memang telah menyuguhkan begitu banyak manfaat terhadap manusia, terutama masyarakat yang tinggal dipesisir. Sebut saja satu contoh, salah satu biota yang menghuni laut adalah plankton. Secara umum plankton ini tergolong menjadi dua yaitu zooplankton dan phytoplankton. Ketika phytoplankton berfotosintesis, maka menghasilkan O2 (oksigen) yang dapat terabsorbsi ke udara bebas sehingga manusia juga dapat memanfaatkannya. Selanjutnya phytoplankton ini dimangsa oleh zooplankton dan sebagiannya menjadi makanan alami bagi ikan-ikan kecil dan anak-anak ikan yang baru menetas. Dan ikan-ikan kecil ini menjadi mangsa oleh ikan-ikan besar, dan ikan – ikan besar ini menjadi mangsa oleh ikan yang lebih besar lagi. Ikan besar, maupun yang agak besar sampai yang kecil sekalipun menjadi mangsa oleh manusia. Itulah mata rantai makanan yang terjadi di kehidupan laut.
Untuk memanfaatkan hasil laut tentunya terlebih dahulu dilakukan upaya penangkapan. Mulai dari teknik menangkap yang paling sederhana hingga teknik penangkapan yang modern. Cara penangkapan ini juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan finansial dari orang yang hendak menangkap. Dari upaya penangkapan itu ada yang ramah lingkungan dan ada juga tidak bersahabat dengan lingkungan. Dicontohkan pada pesisir yang ada diwilayah bone bagian selatan, ketika era sebelum tahun 2000-an, kita dapat menyaksikan sejumlah alat tangkap tradisional yang lebih dikenal dengan bagang tancap yang sebagaian besar bahan bakunya dari bambu dengan sistem penangkapannya menarik perhatian ikan dengan cahaya lampu petromax. Dan pada saat itu pun hasil tangkapan nelayan cukup melimpah.
Namun saat ini bagang tancap hampir tidak bisa lagi didapatkan. Kalaupun ada, hasilnya tidak lagi mampu menopang kehidupan para keluarga nelayan. Hal ini di sebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah perubahan lingkungan yang mengarah pada perusakan ekosistem laut. Kedua, adanya bagang perahu (baca; bagang rambo) yang beroperasi terlalu dekat dengan pantai yang menyebabkan cahaya lampu petromax tidak mampu menyaingi intensitas cahaya yang sangat kuat dari bagang perahu. Ketiga adanya cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti bom ikan dan bius yang dapat menyebabkan rusaknya terumbu karang yang bermuara pada hancurnya ekosistem laut.
Walau sudah nampak kerusakan laut akibat oleh ulah tangan manusia, nelayan kecil tetap saja membuat inovasi baru buat mereka untuk mengelola laut agar dapat menuai harapan untuk hari esok. Diantara bentuk inovasi baru bagi nelayan adalah penangkapan kepiting rajungan (portunus sp) dengan menggunakan bubu. Pada awalnya hasil tangkapan bubu nelayan cukup melimpah. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan stock alam yang masih banyak. Dengan hasil tangkapannya cukup memuaskan, hal ini membuat masyarakat pesisir secara beramai-ramai untuk melakukan penangkapan kepiting rajungan. Perjalanan penangkapan kepiting rajungan yang dilakukan tiap hari menyebabkan ketersediaan stok di alam semakin berkurang. Hasil tangkapan pun kian menurun. Penghasilan pun ikut menurun. Nelayan kecil tak kehilangan akal untuk mencari asa yang kian kerdil. Mereka mencoba lagi satu bentuk usaha untuk diharapkan mampu menambah penghasilan. Maka dicobalah membudidayakan rumput laut dari jenis (Euchema sp). Dengan hasil budidaya yang cukup memadai dan harga yang lumayan menjadikan penghasilan nelayan mulai bertambah.
Baru beberapa waktu nelayan pesisir dapat bernapas lega karena ekonomi mereka dirasakan sudah membaik melalui budidaya rumput laut, tiba-tiba harga pasaran anjlok pada angka yang sangat rendah sehingga terkadang nelayan hanya kembali modal pada saat panennya, itupun kalau tidak ada masalah dalam pemeliharaan. Berbagai pertanyaan kritis pun muncul dari bibir kering para nelayan pesisir, siapa sebetulnya yang mengendalikan “harga”, kenapa kami selalu dicurangi, kenapa pemerintah diam saja dengan masalah yang kami hadapi, ataukah jangan-jangan pemerintah juga masuk dalam lingkaran permainan harga? Dan sekelumit pertanyaan tajam lainnya.
Rentetan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir membuat mereka bertanya-tanya, apalagi yang bisa kita perbuat? Kita ingin membangun usaha besar seperti bagang perahu (bagang rambo) tapi modal yang tidak ada, kita hanya rakyat kecil. Kita mau membuat kembali bagang tancap, tetapi cahaya lampu petromax kami tidak mampu menyaingi kilauan cahaya dari bagang rambo, mana lagi harga minyak tanah yang sangat tinggi. Kita mau memancing, terumbu karang sudah rusak. Fenomena ini bagi masyarakat pesisir yang notabene adalah rakyat kecil ibarat plankton yang termangsa oleh zooplankton dan ikan-ikan besar yang kemudian dimangsa oleh ikan predator. Eksploitasi pemodal telah menghancurkan harapan dan cita-cita masyarakat pesisir untuk hidup layak dari laut, karena kreasi mereka (baca; nelayan pesisir) yang tradisonal tak mampu menyaingi fasilitas pemodal yang serba modern.
Ikan laut bukan lagi untuk para nelayan pesisir, tapi hanya untuk pemodal yang telah mengeksploitasi laut dengan kekuasaannya, kesombongan dan keserakahan mereka membuat masyarakat jatuh tersungkur dibibir laut bersama dengan perahunya yang bocor dan tak lagi produktif. Sementara disatu sisi pemerintah yang sejatinya paling bertanggung jawab atas kehidupan yang layak bagi masyarakat, diam membisu tak berdaya, mati tidak, bergerak pun tidak.
Laut tidak lagi asin bagiku, karena ikannya bukan lagi untukku, tapi setidaknya laut masih belum kering. Artinya harapan baru masih bisa kita dapatkan dari laut. Sebelum terlanjur rusak yang lebih parah lagi, tentunya upaya perbaikan dari berbagai pihak yang berkompeten sangat dinantikan oleh masyarakat pesisir khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Karena bagaimana pun masyarakat luas punya kepentingan tersendiri dari hasil laut utamanya dibidang pangan.
Harapan masyarakat bahwa semoga kedepan ada penataan pengelolaan laut yang berbasis pelestarian yang berpihak pada upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat pesisir yang terbelakang. Terima kasih PNPM Mandiri Perdesaan yang telah membangunkan kami dari keputusasaan dan frustasi, semoga PNPM Mandiri Perdesaan bisa bersinergi dengan Pemerintah Kabupaten Bone dalam rangka merumuskan strategi penanggulangan masalah yang dialami nelayan pesisir, sehingga setelah gelap terbitlah terang.
Untuk memanfaatkan hasil laut tentunya terlebih dahulu dilakukan upaya penangkapan. Mulai dari teknik menangkap yang paling sederhana hingga teknik penangkapan yang modern. Cara penangkapan ini juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan finansial dari orang yang hendak menangkap. Dari upaya penangkapan itu ada yang ramah lingkungan dan ada juga tidak bersahabat dengan lingkungan. Dicontohkan pada pesisir yang ada diwilayah bone bagian selatan, ketika era sebelum tahun 2000-an, kita dapat menyaksikan sejumlah alat tangkap tradisional yang lebih dikenal dengan bagang tancap yang sebagaian besar bahan bakunya dari bambu dengan sistem penangkapannya menarik perhatian ikan dengan cahaya lampu petromax. Dan pada saat itu pun hasil tangkapan nelayan cukup melimpah.
Namun saat ini bagang tancap hampir tidak bisa lagi didapatkan. Kalaupun ada, hasilnya tidak lagi mampu menopang kehidupan para keluarga nelayan. Hal ini di sebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah perubahan lingkungan yang mengarah pada perusakan ekosistem laut. Kedua, adanya bagang perahu (baca; bagang rambo) yang beroperasi terlalu dekat dengan pantai yang menyebabkan cahaya lampu petromax tidak mampu menyaingi intensitas cahaya yang sangat kuat dari bagang perahu. Ketiga adanya cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti bom ikan dan bius yang dapat menyebabkan rusaknya terumbu karang yang bermuara pada hancurnya ekosistem laut.
Walau sudah nampak kerusakan laut akibat oleh ulah tangan manusia, nelayan kecil tetap saja membuat inovasi baru buat mereka untuk mengelola laut agar dapat menuai harapan untuk hari esok. Diantara bentuk inovasi baru bagi nelayan adalah penangkapan kepiting rajungan (portunus sp) dengan menggunakan bubu. Pada awalnya hasil tangkapan bubu nelayan cukup melimpah. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan stock alam yang masih banyak. Dengan hasil tangkapannya cukup memuaskan, hal ini membuat masyarakat pesisir secara beramai-ramai untuk melakukan penangkapan kepiting rajungan. Perjalanan penangkapan kepiting rajungan yang dilakukan tiap hari menyebabkan ketersediaan stok di alam semakin berkurang. Hasil tangkapan pun kian menurun. Penghasilan pun ikut menurun. Nelayan kecil tak kehilangan akal untuk mencari asa yang kian kerdil. Mereka mencoba lagi satu bentuk usaha untuk diharapkan mampu menambah penghasilan. Maka dicobalah membudidayakan rumput laut dari jenis (Euchema sp). Dengan hasil budidaya yang cukup memadai dan harga yang lumayan menjadikan penghasilan nelayan mulai bertambah.
Baru beberapa waktu nelayan pesisir dapat bernapas lega karena ekonomi mereka dirasakan sudah membaik melalui budidaya rumput laut, tiba-tiba harga pasaran anjlok pada angka yang sangat rendah sehingga terkadang nelayan hanya kembali modal pada saat panennya, itupun kalau tidak ada masalah dalam pemeliharaan. Berbagai pertanyaan kritis pun muncul dari bibir kering para nelayan pesisir, siapa sebetulnya yang mengendalikan “harga”, kenapa kami selalu dicurangi, kenapa pemerintah diam saja dengan masalah yang kami hadapi, ataukah jangan-jangan pemerintah juga masuk dalam lingkaran permainan harga? Dan sekelumit pertanyaan tajam lainnya.
Rentetan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir membuat mereka bertanya-tanya, apalagi yang bisa kita perbuat? Kita ingin membangun usaha besar seperti bagang perahu (bagang rambo) tapi modal yang tidak ada, kita hanya rakyat kecil. Kita mau membuat kembali bagang tancap, tetapi cahaya lampu petromax kami tidak mampu menyaingi kilauan cahaya dari bagang rambo, mana lagi harga minyak tanah yang sangat tinggi. Kita mau memancing, terumbu karang sudah rusak. Fenomena ini bagi masyarakat pesisir yang notabene adalah rakyat kecil ibarat plankton yang termangsa oleh zooplankton dan ikan-ikan besar yang kemudian dimangsa oleh ikan predator. Eksploitasi pemodal telah menghancurkan harapan dan cita-cita masyarakat pesisir untuk hidup layak dari laut, karena kreasi mereka (baca; nelayan pesisir) yang tradisonal tak mampu menyaingi fasilitas pemodal yang serba modern.
Ikan laut bukan lagi untuk para nelayan pesisir, tapi hanya untuk pemodal yang telah mengeksploitasi laut dengan kekuasaannya, kesombongan dan keserakahan mereka membuat masyarakat jatuh tersungkur dibibir laut bersama dengan perahunya yang bocor dan tak lagi produktif. Sementara disatu sisi pemerintah yang sejatinya paling bertanggung jawab atas kehidupan yang layak bagi masyarakat, diam membisu tak berdaya, mati tidak, bergerak pun tidak.
Laut tidak lagi asin bagiku, karena ikannya bukan lagi untukku, tapi setidaknya laut masih belum kering. Artinya harapan baru masih bisa kita dapatkan dari laut. Sebelum terlanjur rusak yang lebih parah lagi, tentunya upaya perbaikan dari berbagai pihak yang berkompeten sangat dinantikan oleh masyarakat pesisir khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Karena bagaimana pun masyarakat luas punya kepentingan tersendiri dari hasil laut utamanya dibidang pangan.
Harapan masyarakat bahwa semoga kedepan ada penataan pengelolaan laut yang berbasis pelestarian yang berpihak pada upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat pesisir yang terbelakang. Terima kasih PNPM Mandiri Perdesaan yang telah membangunkan kami dari keputusasaan dan frustasi, semoga PNPM Mandiri Perdesaan bisa bersinergi dengan Pemerintah Kabupaten Bone dalam rangka merumuskan strategi penanggulangan masalah yang dialami nelayan pesisir, sehingga setelah gelap terbitlah terang.